Wednesday, April 11, 2012

HACKER PERTAMA DI DUNIA

Terminologi hacker muncul pada awal tahun 1960-an diantara para anggota organisasi mahasiswa Tech Model Railroad Club di Laboratorium Kecerdasan Artifisial Massachusetts Institute of Technology (MIT). Kelompok mahasiswa tersebut merupakan salah satu perintis perkembangan teknologi komputer dan mereka berkutat dengan sejumlah komputer mainframe. Kata hacker pertama kalinya muncul dengan arti positif untuk menyebut seorang anggota yang memiliki keahlian dalam bidang komputer dan mampu membuat program komputer yang lebih baik ketimbang yang telah dirancang bersama.
Kemudian pada tahun 1983, istilah hacker berubah menjadi negatif. Pasalnya, pada tahun tersebut untuk pertama kalinya FBI menangkap kelompok kriminal komputer The 414s yang berbasis di Milwaukee AS. 414 merupakan kode area lokal mereka. Kelompok yang kemudian disebut hacker tersebut dinyatakan bersalah atas pembobolan 60 buah komputer, dari komputer milik Pusat Kanker Memorial Sloan-Kettering hingga komputer milik Laboratorium Nasional Los Alamos. Satu dari pelaku tersebut mendapatkan kekebalan karena testimonialnya, sedangkan 5 pelaku lainnya mendapatkan hukuman masa percobaan.
Kemudian pada perkembangan selanjutnya muncul kelompok lain yang menyebut-nyebut diri hacker, padahal bukan. Mereka ini (terutama para pria dewasa) yang mendapat kepuasan lewat membobol komputer dan mengakali telepon (phreaking). Hacker sejati menyebut orang-orang ini 'cracker' dan tidak suka bergaul dengan mereka. Hacker sejati memandang cracker sebagai orang malas, tidak bertanggung jawab, dan tidak terlalu cerdas. Hacker sejati tidak setuju jika dikatakan bahwa dengan menerobos keamanan seseorang telah menjadi hacker.
Para hacker mengadakan pertemuan setiap setahun sekali yaitu diadakan setiap pertengahan bulan Juli di Las Vegas. Ajang pertemuan hacker terbesar di dunia tersebut dinamakan Def Con. Acara Def Con tersebut lebih kepada ajang pertukaran informasi dan teknologi yang berkaitan dengan aktivitas hacking.
Hacker memiliki konotasi negatif karena kesalahpahaman masyarakat akan perbedaan istilah tentang hacker dan cracker. Banyak orang memahami bahwa hackerlah yang mengakibatkan kerugian pihak tertentu seperti mengubah tampilan suatu situs web (defacing), menyisipkan kode-kode virus dsb. Padahal, mereka adalah cracker. Crackerlah menggunakan celah-celah keamanan yang belum diperbaiki oleh pembuat perangkat lunak (bug) untuk menyusup dan merusak suatu sistem. Atas alasan ini biasanya para hacker dipahami dibagi menjadi 2 golongan White Hat Hackers, yakni hacker yang sebenarnya dan cracker yang sering disebut dengan istilah Black Hat Hackers.

Pada 1983 keluar pula sebuah film berjudul War Games yang salah satu perannya dimainkan oleh Matthew Broderick sebagai David Lightman. Film tersebut menceritakan seorang remaja penggemar komputer yang secara tidak sengaja terkoneksi dengan super komputer rahasia yang mengkontrol persenjataan nuklir AS.

Kemudian pada tahun 1995 keluarlah film berjudul Hackers, yang menceritakan pertarungan antara anak muda jago komputer bawah tanah dengan sebuah perusahaan high-tech dalam menerobos sebuah sistem komputer. Dalam film tersebut digambarkan bagaimana akhirnya anak-anak muda tersebut mampu menembus dan melumpuhkan keamanan sistem komputer perusahaan tersebut. Salah satu pemainnya adalah Angelina Jolie berperan sebagai Kate Libby alias Acid Burn.
Pada tahun yang sama keluar pula film berjudul The Net yang dimainkan oleh Sandra Bullock sebagai Angela Bennet. Film tersebut mengisahkan bagaimana perjuangan seorang pakar komputer wanita yang identitas dan informasi jati dirinya di dunia nyata telah diubah oleh seseorang. Dengan keluarnya dua film tersebut, maka eksistensi terminologi hacker semakin jauh dari yang pertama kali muncul di tahun 1960-an di MIT.

Sunday, April 8, 2012




Pencucian JimatFilm yang kini digarapnya berkisah tradisi masyarakat pesisir dan keraton-Keraton Cirebon dalam mempersiapkan upacara Mauludan/Panjang Jimat atau upacara memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dihadiri ribuan orang dari berbagai penjuru kota di Indonesia. Film dengan garapan apik dan detail yang (mungkin) belum terdeteksi oleh radar konsumer selama ini. Kualitas pengambilan gambar serta alur cerita yang natural dan spontanitas tanpa dibuat-buat asli merupakan apa yang nampak oleh mata telanjang ketika menyaksikan langsung prosesi mauludan/pelal/panjang jimat. Film ini selain menggugah juga inspiratif, memang patut mencari rasa baru. Penggemar film umum ataupun independen bisa mengacungkan sedikitnya satu jempol.

Dalam film ini unsur budaya dibawakan dengan nuansa realisme, magis, dan klasik, termasuk pembawaan rasa budaya dan keindahan Indonesia. Pasukan yang  membawa payung keropak, tunggul manik dan damar kurung bersiap di depan gapura wadasan keraton, bersiap menyambut keluarnya panjang jimat. Ratusan bahkan ribuan orang berkerumun di Taman Bunderan Dewandaru terpesona arak-arakan pembawa Nasi Jimat tujuh rupa dengan pengawalan ketib agung dan kaum mesjid berjubah dan bersorban putih membalut kepala yang bentuknya tidak melengkung seperti jam pasir yang diapit ketat pasukan Sentana Wargi pembawa lilin yang bermakna kelahiran Nabi Muhammad SAW lahir pada malam hari. Sebelum selesai prosesi panjang jimat dan berhentinya asrakalan pembacaan kitab barjanji dan shalawatan di Langgar Agung, kerumunan masyarakat yang berjejal di pagar kayu dan pintu masuk Langgar Agung bersiap memperebutkan sedikit “jimat”.

Jimat yang didoakan oleh ketib dan kaum masjid di Langgar Agung
Selebihnya, film ini semoga dapat menjadi sihir spiritual bagi armada inspirator, yang terkuak dari jutaan pengalaman mencengangkan, karena keajaiban pengamatan sublim. Dan selayaknyalah ditonton oleh mereka yang tergelitik untuk mencipta gagasan baru dalam berbudaya dan tentu berwisata. Bentuk saji film ini adalah rambahan kontemporer pemaknaan teks tradisi dalam peristiwa budaya, yang diracik frame demi frame dengan realitas budaya pawaqi alegoris. Mata kita akan enggan beralih sejenak pun meninggalkannya. Saat seorang penari topeng panji menari di benak. Sementara nurani kita bagai ditohok berulang-ulang merasakan gonjang ganjing dunia perfilman Indonesia yang sedang koma katurangga dan purwadaksina. Di setiap adegan adalah refleksi berupa berbagai pertanyaan yang sejatinya adalah sejenis “pintu masuk”, menjawab tantangan zaman. Gagasan-gagasan baru yang bernas dibentangkan film dokumenter ini nyaris tanpa jeda. Antara realitas sosial global dan solusi-solusi aktual hadir dengan memakai sistematisasi gambar yang runut dan berstruktur. Semua kajian realitas global seperti kawin-mawin dengan rambahan pikiran-pikiran yang memukau. Sungguh sebuah ikhtiar seorang Ray Bachtiar menyajikan isi dari kedalaman rasa berbudaya serta topikal yang bermutu dengan pembahasaan yang populis dan cair.

Masyarakat menunggu pembagian Jimat di pagar Langgar Agung
Kelemahan film ini – kalaupun penilaian itu harus dihadirkan di sini, demi azas obyektivitas – adalah pada dukungan Pemkot dan pihak Keraton-keraton di Cirebon yang teramat miskin untuk bekerjasama membuat upacara Mauludan 4 Keraton Cirebon lebih akbar dan dahsyat. Walaupun tentu beban upacara yang dahsyat itu, akan sulit tervisualisasi menawan, baik secara asosiatif maupun imajinatif. Namun, inilah jalan masuk wisata budaya.