Film
yang kini digarapnya berkisah tradisi masyarakat pesisir dan
keraton-Keraton Cirebon dalam mempersiapkan upacara Mauludan/Panjang
Jimat atau upacara memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang
dihadiri ribuan orang dari berbagai penjuru kota di Indonesia. Film
dengan garapan apik dan detail yang (mungkin) belum terdeteksi oleh
radar konsumer selama ini. Kualitas pengambilan gambar serta alur cerita
yang natural dan spontanitas tanpa dibuat-buat asli merupakan apa yang
nampak oleh mata telanjang ketika menyaksikan langsung prosesi
mauludan/pelal/panjang jimat. Film ini selain menggugah juga inspiratif,
memang patut mencari rasa baru. Penggemar film umum ataupun independen
bisa mengacungkan sedikitnya satu jempol.
Dalam
film ini unsur budaya dibawakan dengan nuansa realisme, magis, dan
klasik, termasuk pembawaan rasa budaya dan keindahan Indonesia. Pasukan
yang membawa payung keropak, tunggul manik dan damar kurung bersiap di
depan gapura wadasan keraton, bersiap menyambut keluarnya panjang jimat.
Ratusan bahkan ribuan orang berkerumun di Taman Bunderan Dewandaru
terpesona arak-arakan pembawa Nasi Jimat tujuh rupa dengan pengawalan
ketib agung dan kaum mesjid berjubah dan bersorban putih membalut kepala
yang bentuknya tidak melengkung seperti jam pasir yang diapit ketat
pasukan Sentana Wargi pembawa lilin yang bermakna kelahiran Nabi
Muhammad SAW lahir pada malam hari. Sebelum selesai prosesi panjang
jimat dan berhentinya asrakalan pembacaan kitab barjanji dan shalawatan
di Langgar Agung, kerumunan masyarakat yang berjejal di pagar kayu dan
pintu masuk Langgar Agung bersiap memperebutkan sedikit “jimat”.
Selebihnya,
film ini semoga dapat menjadi sihir spiritual bagi armada inspirator,
yang terkuak dari jutaan pengalaman mencengangkan, karena keajaiban
pengamatan sublim. Dan selayaknyalah ditonton oleh mereka yang
tergelitik untuk mencipta gagasan baru dalam berbudaya dan tentu
berwisata. Bentuk saji film ini adalah rambahan kontemporer pemaknaan
teks tradisi dalam peristiwa budaya, yang diracik frame demi frame
dengan realitas budaya pawaqi alegoris. Mata kita akan enggan beralih
sejenak pun meninggalkannya. Saat seorang penari topeng panji menari di
benak. Sementara nurani kita bagai ditohok berulang-ulang merasakan
gonjang ganjing dunia perfilman Indonesia yang sedang koma katurangga
dan purwadaksina. Di setiap adegan adalah refleksi berupa berbagai
pertanyaan yang sejatinya adalah sejenis “pintu masuk”, menjawab
tantangan zaman. Gagasan-gagasan baru yang bernas dibentangkan film
dokumenter ini nyaris tanpa jeda. Antara realitas sosial global dan
solusi-solusi aktual hadir dengan memakai sistematisasi gambar yang
runut dan berstruktur. Semua kajian realitas global seperti kawin-mawin
dengan rambahan pikiran-pikiran yang memukau. Sungguh sebuah ikhtiar
seorang Ray Bachtiar menyajikan isi dari kedalaman rasa berbudaya serta
topikal yang bermutu dengan pembahasaan yang populis dan cair.
Kelemahan
film ini – kalaupun penilaian itu harus dihadirkan di sini, demi azas
obyektivitas – adalah pada dukungan Pemkot dan pihak Keraton-keraton di
Cirebon yang teramat miskin untuk bekerjasama membuat upacara Mauludan 4
Keraton Cirebon lebih akbar dan dahsyat. Walaupun tentu beban upacara
yang dahsyat itu, akan sulit tervisualisasi menawan, baik secara
asosiatif maupun imajinatif. Namun, inilah jalan masuk wisata budaya.
No comments:
Post a Comment