Sunday, April 8, 2012




Pencucian JimatFilm yang kini digarapnya berkisah tradisi masyarakat pesisir dan keraton-Keraton Cirebon dalam mempersiapkan upacara Mauludan/Panjang Jimat atau upacara memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dihadiri ribuan orang dari berbagai penjuru kota di Indonesia. Film dengan garapan apik dan detail yang (mungkin) belum terdeteksi oleh radar konsumer selama ini. Kualitas pengambilan gambar serta alur cerita yang natural dan spontanitas tanpa dibuat-buat asli merupakan apa yang nampak oleh mata telanjang ketika menyaksikan langsung prosesi mauludan/pelal/panjang jimat. Film ini selain menggugah juga inspiratif, memang patut mencari rasa baru. Penggemar film umum ataupun independen bisa mengacungkan sedikitnya satu jempol.

Dalam film ini unsur budaya dibawakan dengan nuansa realisme, magis, dan klasik, termasuk pembawaan rasa budaya dan keindahan Indonesia. Pasukan yang  membawa payung keropak, tunggul manik dan damar kurung bersiap di depan gapura wadasan keraton, bersiap menyambut keluarnya panjang jimat. Ratusan bahkan ribuan orang berkerumun di Taman Bunderan Dewandaru terpesona arak-arakan pembawa Nasi Jimat tujuh rupa dengan pengawalan ketib agung dan kaum mesjid berjubah dan bersorban putih membalut kepala yang bentuknya tidak melengkung seperti jam pasir yang diapit ketat pasukan Sentana Wargi pembawa lilin yang bermakna kelahiran Nabi Muhammad SAW lahir pada malam hari. Sebelum selesai prosesi panjang jimat dan berhentinya asrakalan pembacaan kitab barjanji dan shalawatan di Langgar Agung, kerumunan masyarakat yang berjejal di pagar kayu dan pintu masuk Langgar Agung bersiap memperebutkan sedikit “jimat”.

Jimat yang didoakan oleh ketib dan kaum masjid di Langgar Agung
Selebihnya, film ini semoga dapat menjadi sihir spiritual bagi armada inspirator, yang terkuak dari jutaan pengalaman mencengangkan, karena keajaiban pengamatan sublim. Dan selayaknyalah ditonton oleh mereka yang tergelitik untuk mencipta gagasan baru dalam berbudaya dan tentu berwisata. Bentuk saji film ini adalah rambahan kontemporer pemaknaan teks tradisi dalam peristiwa budaya, yang diracik frame demi frame dengan realitas budaya pawaqi alegoris. Mata kita akan enggan beralih sejenak pun meninggalkannya. Saat seorang penari topeng panji menari di benak. Sementara nurani kita bagai ditohok berulang-ulang merasakan gonjang ganjing dunia perfilman Indonesia yang sedang koma katurangga dan purwadaksina. Di setiap adegan adalah refleksi berupa berbagai pertanyaan yang sejatinya adalah sejenis “pintu masuk”, menjawab tantangan zaman. Gagasan-gagasan baru yang bernas dibentangkan film dokumenter ini nyaris tanpa jeda. Antara realitas sosial global dan solusi-solusi aktual hadir dengan memakai sistematisasi gambar yang runut dan berstruktur. Semua kajian realitas global seperti kawin-mawin dengan rambahan pikiran-pikiran yang memukau. Sungguh sebuah ikhtiar seorang Ray Bachtiar menyajikan isi dari kedalaman rasa berbudaya serta topikal yang bermutu dengan pembahasaan yang populis dan cair.

Masyarakat menunggu pembagian Jimat di pagar Langgar Agung
Kelemahan film ini – kalaupun penilaian itu harus dihadirkan di sini, demi azas obyektivitas – adalah pada dukungan Pemkot dan pihak Keraton-keraton di Cirebon yang teramat miskin untuk bekerjasama membuat upacara Mauludan 4 Keraton Cirebon lebih akbar dan dahsyat. Walaupun tentu beban upacara yang dahsyat itu, akan sulit tervisualisasi menawan, baik secara asosiatif maupun imajinatif. Namun, inilah jalan masuk wisata budaya.

No comments:

Post a Comment