Monday, March 12, 2012

PEMBAHASAN TENTANG LAFAL NASH



PEMBAHASAN TENTANG LAFAL  NASH

A. LAFAL NASH YANG JELAS
Yang dimaksud dengan lafal nash yang jelas itu ialah suatu lafal yang jelas artinya dan jelas penunjukkannya terhadap maksud yang dikehendaki sehingga tidak memerlukan penjelasan dari luar1. Lafal nash yang jelas ini terdiri dari beberapa tingkatan. Menurut Mazhab Hanafi2 lafal nash yang jelas ini terdiri dari empat tingkatan yang berikut ini akan diuraikan satu-persatu.
1. Disebut dengan zâhir  (الـظاهـر)
Yang dimaksud dengan lafal nash yang zâhir, sebagaimana dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban3 adalah sebagai berikut :
الـظاهـرهـواللـفـظ الذى يـدل عـلى مـعـنـاه دلا لـة واضـحـة بـحـيـث لا يـتـو قـف فـهـم
   المـراد مـنـه عـلى قـريـنـة خـا رجـيـة.
Artinya ; Zahir ialah suatu lafal yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas tanpa memerlukan penjelasan dari luar.

Sementara itu, Quthub Mustafa Sanu4, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan lafal nash zâhir adalah ;
اللـفـظ الذى يـدل عـلى مـعـنـاه بـصيـغـتـه مـن غـيـر تـوقـف عـلى قـريـنـة خـارجـيـة مـع احـمـال التـخـصـيـص والـتـأويـل.
Artinya ;  Lafal nash yang zahir ialah suatu lafal yang jelas pengertiannya tanpa adanya ketrangan dari luar dan lafal zahir ini dimungkinkan untuk ditakhsis atau dita’wilkan.

Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat 275 surah al-Baqarah berikut ;
"واحـل الـله الـبـيـع وحرم الربا..."
Artinya : Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’...
Ayat ini begitu jelas artinya, bahwa jual beli itu halal hukumnya dan riba’ itu haram. Pengertian inilah yang segera dapat ditangkap dan dipahami oleh akal pikiran kita. Dan pengertian seperti ini tidak perlu ada qarînah atau penjelasan dari luar ayat tersebut. Namun demikian, ayat ini bukan hanya sekedar menyatakan bahwa jual beli itu halal dan riba’ itu haram hukumnya, tetapi ayat ini untuk menyatakan dan membantah anggapan orang-orang munafiq Makkah pada waktu itu di mana jual-beli itu sama dengan riba’. Padahal jual-beli itu tidak sama dengan riba’.
Contoh lain misalnya, firman Allah dalam surat An-Nisak ayat 3, berikut ini ;
 "... فـا نـكحـوامـاطاب لكـم مـن النســاء مـثـنى وثـلا ث وربـاع ..."
Artinya : “… Maka nikahilah oleh kamu wanita mana saja yang kamu sukai dua, tiga dan sampai empat orang…
Dari ayat ini yang segera dapat dipahami adalah bahwa seorang laki-laki boleh menikahi wanita yang ia sukai dua, tiga, dan empat orang. Dan pengertian inilah yang dapat dipahami dari arti zahirnya. Akan tetapi ayat ini sebetulnya, maksud awalnya adalah menjelaskan batasan atau jumlah wanita yang boleh dinikahi oleh laki-laki yaitu sampai empat orang dalam satu waktu dan tidak boleh lebih dari itu.
Lafal nash yang zahir ini wajib diamalkan selama tidak terdapat dalil lain yang menyangkalnya, karena pada asalnya lafal nash yang zahir (jelas) itu manakala sudah jelas maknanya tidak boleh diubah dari arti zahirnya kecuali ada dalil yang menghendakinya. Zaky al-Din Sya’ban5 menyebutkan bahwa lafal nash yang zahir itu termasuk lafal yang umum, yang wajib diamalkan atas keumumannya dan tidak boleh ditakhshiskan kecuali ada dalil yang dapat mentakhshish sebagian objek (afrad) yang ada padanya. Jika ia lafal mutlaq wajib diamalkan sesuai dengan kemutlakannya dan tidak boleh dibawa ke muqayyad selama tidak ada dalil lain yang dapat mengubah kemutlakannya.
2.  Disebut dengan al-Nash
Wahbah Zuhaili6 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan al-nash ialah ;
 أنــه اللـفــظ الـذى يـدل عـلى مـعـنـاه دلالة واضحـة تـحـتـمل الـتـأويـل والـتـخـصيـص ويـقـبـل النـسـخ فى عـهـدالـرسـالـة.
Artinya ; al-Nash ialah suatu lafal yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas dan terdapat kemungkinan untuk dita’wil dan ditakhshis serta tidak dapat dinasakh kecuali pada masa Nabi.

Sementara itu, Muhammad Al-Jarjani7, di dalam kitab al-Ta’rifāt menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan al-nash ialah :
مـاازداد وضوـحا عـلى الـظاهـرلـمـعـنى فـى الـمتـكلم وهـو سـوق الـكلآم لآجـل ذلك المـعـنى.
Artinya ; al-Nash ialah suatu lafal yang lebih jelas maknanya atau pengertiannya dari zahir dan pengertian tersebut dapat dipahami dari susunan atau ungkapan kalimatnya.

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa lafal yang dikelompok-kan kepada al-nash adalah suatu lafal yang jelas maknanya dan kedudukannya lebih jelas dari lafal al-zâhir. Menurut Al-Jarjani8, kejelasan al-nash itu tidak mungkin punya pengertian lain kecuali apa yang disebutkan oleh lafal tersebut dan tidak dapat ditakwilkan. Dengan kata lain, lafal al-nash itu mengandung makna tunggal. Dalam pandangan Quthub Mustafa Sanu9, lafal al-nash disebutnya dengan istilah al-nash aljâ (الـنـص الجـلى)
Sebagai contohnya ialah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275 berikut ini ;
  واحـل الـلـه الـبـيـع وحـرم الـربا....
Artinya ; … Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’.
Ayat ini dilihat secara al-nash adalah menjelaskan perbedaan antara jual-beli dan riba’. Dengan kata lain bahwa jual-beli dan riba’ adalah dua hal yang tidak sama dan inilah maksud semula dari ayat ini. Lafal pada tingkatan al-nash ini sekalipun lebih jelas dari al-z±hir, menurut sebagian ulama masih dapat di-ta’wil, tetapi bila tidak ada dalil yang dapat digunakan untuk ta’w³l ia diamalkan sesuai dengan maksud yang dipahami dari lafalnya itu sendiri dan dari susunan kalimatnya.10
3.  Disebut dengan Mufassar  (الـمـفـسـر)
Menurut Abdul Karim Zaidan11 secara bahasa kata mufassar (الـمـفـسـر) berasal dari kata “ فـسـر” yang berarti “terang, menerangkan atau jelas. Adapun secara istilah sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan12 adalah sebagai berikut :
هـوما ازداد وضوحـا عـلى النص ودل نـفـسـه عـلى مــعـناه الـمفـصل عـلى وجـه لا يـبـقـى فـيـه احـتـمـال للـتـا ويـل.
Artinya ; Mufassar ialah lafal yang pengertian / maknanya lebih jelas dari al-nash dan kejelasan maknanya itu ditunjukkan oleh lafal itu sendiri. Mufassar tidak dapat ditakwilkan atau dialihkan artinya kepada arti lainnya.

Selanjutnya Abdul Wahab Khalaf13 juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan mufassar ialah :
هـوما دل بـنـفـسـه عـلى مـعـنـاه المـفـصل تـفـصيـلا لا يـبـقـى مـعـه احـتـمـال للـتـاويـل.
Artinya ; Suatu lafal dengan shifatnya sendiri menunjukkan kepada makna yang jelas dan rinci sehingga tidak dapat dita’wilkan kepada arti lain.

Kemudian Amir Syarifuddin14, dengan mengutip pendapat Al-‘Uddah, mengemukakan pula pengertian mufassar berikut ;
ما يـعـرف مـعـنـاه مـن لـفـظـه ولا يـفـتـقـر الى قـريـنــة تـفـســيره.
Artinya ; Suatu lafal yang dapat diketahui maknanya dari lafalnya sendiri tanpa memerlukan keterangan (qarinah) untuk menafsirkannya.

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa mufassar itu suatu lafal yang jelas dan lebih jelas dari dua macam bentuk lafal sebelumnya. Kejelasan lafal mufassar itu dapat dilihat atau ditandai oleh beberapa indikator atau dapat diketahui15 dengan cirri-ciri sebagai berikut ;
a. Penunjukkannya terdapat maknanya jelas sekali.
b. Penunjukkannya itu hanya dari lafalnya sendiri tanpa memerlukan qorînah (penjelasan) dari luar.
c.  Karena jelas dan rinci maknanya, maka ia tidak mungkin ditakwilkan.
Mufassar ini ada dua macam16, Pertama, menurut asalnya lafal itu memang sudah jelas dan rinci, Sehingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Misalnya firman Allah yang terdapat dalam surat al-Nur / 24 ayat 4 yang berbunyi sebagai berikut ;
والذ ين يـرمون المحـصـنـا ت ثـم لـم يـأ تـوا بـاربعـة شـهـداء فاجــلـد وهـم ثـما نـيـن جلـدة... (الـنـور/ ٢٤ : ٤(
Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik (berbuat zina), kemudian mereka tidak dapat mendatangkah saksi, maka deralah (pukul) mereka sebanyak delapan puluh kali…”

Bilangan dalam ayat di atas jelas dan rinci yaitu “delapan puluh kali” dera, tidak ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu. Kedua, lafal itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa pemahaman artinya. Lantas ada dalil lain menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. Sebagai contoh dapat dilihat pada surat An-Nisak/4 ayat 92 berikut ini :
من قــتـل مؤمـنـا خـطا فـتحـريـررقـبـة ود يـة مـسـلمـةالى أهـلـه.
Artinya ; Orang-orang yang membunuh orang beriman secara tak sengaja, hendaklah ia memerdekakan budak/hamba sahaya dan menyerahkan diat kepada keluarganya.

Ayat ini berbicara tentang kewajiban membayar / menyerahkan diyat (denda) kepada keluarga korban yang dibunuh, tetapi tidak dijelaskan berapa jumlahnya, bentuk dan macam diyat yang harus diserahkan. Setelah ayat ini turun, datang penjelasan dari Nabi dalam sunnahnya yang merinci keadaan dan cara membayar diyat itu, sehingga ayat di atas menjadi rinci dan jelas artinya.
Amir Syarifuddin17, menjelaskan bahwa lafal mufassar ini dari segi penunjukkannya terhadap makna yang dimaksud lebih jelas dari lafal nash dan lafal zâhir, karena lafalnya memang lebih jelas dibandingkan dengan nash dari segi tafsirannya yang rinci, sehingga menjadikan mufassar tidak mungkin ditakwilkan, karena apa yang dituju menjadi terang. Karena mufassar lebih kuat dari nash dan zâhir, maka bila terjadi perbenturan pemahaman antara keduanya, maka yang harus didahulukan adalah mufassar. Hukum mengamalkan lafal mufassar adalah wajib, karena ia telah rinci dan sangat terang dan tidak mungkin dialihkan kepada pengertian lain.    
4. Disebut dengan Muhkam (الـمـحـكـم)
Secara etimologis muhkam (الـمـحـكـم) berarti “tepat”, tetap dan pasti. Adapun secara terminologis, Muhammad Abu Zahrah18 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan muhkam ialah ;
هـواللـفـظ الـدال الـمـقـصود الذى سـيـق لـه وهـو واضح فى مـعـنـاه لايقبل تأويـلا ولا تـخـصيـصا.
Artinya ; Muhkam ialah suatu lafal yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas dengan tidak menerima takwil dan takhshis.

Abdul Karim Zaidan19 mendefinisikan muhkam sebagai berikut :
الـمـحـكـم هـواللـفـظ الذي ظـهـرت دلا لـتـه بـنـفـسـه عـلى مـعـنـاه ظهـورا قـويـا عـلى نـحـوأكـثـر مـمـا عـليـه الـمـفـسـرولا يـقـبـل ا لـتـأ ويـل ولاالـنـسـخ.
Artinya ; Muhkam ialah suatu lafal yang sangat jelas dilalahnya yang ditunujukkan oleh lafal itu sendiri dan tidak dapat ditakwil dan dinasakh.

Sementara itu Wahbah Zuhaili20 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan muhkam ialah ;
الـمـحـكـم هـواللـفـظ الـذى دل بـصـيـغـتـه عـلى مـعـنـاه دلا لـة واضحـة لا تـحـتـمـل       تـأ ويـلآ ولا تـخـصـيـصا ولا نـسـخا.
Artinya ; Muhkam ialah suatu lafal nash yang dengan shighatnya sendiri menunjukkan kepada pengertian yang jelas dan tidak ada kemungkinan untuk ditakwil, ditakhshis dan dinasakh.

Lafal muhkam berada pada urutan yang paling tinggi dari segi kejelasannya, jika dibandingkan dengan ketiga bentuk lafal sebelumnya yaitu; zâhir, nash dan mufassar. Bila diurutkan tingkat kejelasannya,21 maka muhkam dan mufassar lebih jelas dari pada nash serta nash lebih jelas dari zahir. Dengan demikian muhkam merupakan lafal nash yang paling jelas dari semua tingkatan sebelumnya. Sebagai contohnya adalah wajibnya mengesakan Allah seperti termaktub dalam surat Al-Ikhlas22, ayat 1 s/d 4 berikut ini.
قـل هـوالله أحـد ( ١) الله الـصـمـد(٢) لـم يـلـد ولـم يـولـد(٣) ولـم يـكـن لـه كـفـوا احـد (٤(
Artinya ; Katakanlah Dia Allah yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. Dia tiada beranak dan diperanakan. Dan tiada sesuatupun yang menyerupai Allah.

Ayat ini menjelaskan ketetapan pasti tentang iman dan mengesakan Allah yang merupakan ketetapan pasti yang berlaku sepanjang zaman, tidak dapat ditakwilkan, di-takhshis serta di-nasakh dan dibatalkan. Oleh karena itu, para ulama telah sepakat bahwa lafal nash yang dikategorikan kepada muhkam ini wajib diamalkan secara qath’iy, karena tidak ada pengertian lain kecuali apa yang disebutkan oleh lafal itu sendiri.
Lafal muhkam ini dapat dibedakan kepada dua macam,23 yaitu Pertama, disebut dengan muhkam lizatihi. Lafal nash dalam kategori ini adalah lafal nash yang tidak ada kemungkinan untuk dibatalkan atau nasakh. Tidak mungkin ada nasakh terhadap hukum yang terkandung dalam lafal muhkam itu sendiri, Kedua, disebut dengan muhkam lighairihi, yaitu muhkam karena ada faktor atau sebab  dari luar nash. Artinya muhkam yang tidak dapat dinasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi tidak ada nash yang dapat menasakhnya.
Dalam hal bila terjadi pertentangan (ta’ârudl) diantara tingkat kejelasan lafal nash maka jalan keluar yang ditempuh ialah nash lebih didahulukan daripada zahir, dan mufassar lebih didahulukan dari pada nash dan zahir serta muhkam lebih diutamakan dari semua tingkatan sebelumnya.
Sebetulnya, pembagian lafal nash dari segi jelas atau terang maknanya ini tidak saja terdapat dikalangan mazhab Hanafi, tetapi dikalangan sebagian besar pengikut Syafe’i24 terdapat juga pembagian lafal nash yang jelas.  Kalangan Syafe’i membagi lafal nash yang jelas ini kepada dua macam saja, yaitu zâhir dan nash. Yang  dimaksud dengan zâhir oleh kalangan Syafe’i ialah semua lafal nash yang terdapat kemungkinan untuk di-ta’wil atau lafal nash yang dilalahnya mengandung arti zanny. Contohnya lafal al-‘âm yang mencakup semua satuan objek (afrad) yang terkandung di dalamnya. Kemudian, nash menurut kalangan Syafe’i ialah suatu lafal yang maknanya tidak mungkin berlaku ta’wil padanya, atau suatu lafal yang dil± lah-nya qaht’iy.


B. LAFAL NASH YANG TIDAK JELAS ARTINYA.
Lafal Nash yang tidak jelas/terang artinya. Di kalangan Mazhab Hanafi,25 lafal nash yang tidak jelas artinya ini dibagi kepada empat macam tingkatan. Ketidak jelasan pengertian lafal nash ini, yaitu ; tidak terang, lebih tidak terang, sangat tidak terang dan paling tidak terang.26
1.  Khãfi
Yang dimaksud dengan khafi, seperti dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah27 adalah ;
الخـفى هـو مـا خـفى مـعـنـاه فى بـعـض مـد لـولا تـه لـعـارض غـيـرالـصـيـغـة بـل من تـطبـيـقـه عـلى مـد لـو لا تـه
Artinya ; Khafi ialah suatu lafal yang samar-samar artinya pada sebagian penunjukkannya (madlulnya), karena terdapat faktor luar, bukan dari segi shighat lafalnya.

Dalam pandangan, Amir Syarifuddin28, bahwa dari segi lafalnya, khafi itu menunjukkan artinya yang jelas, tetapi dari segi penerapan artinya kepada sebagian yang lain terdapat kesamaran. Untuk menghilangkan kesamaran tersebut diperlukan ta’wil. Contoh yang sering dikemukakan oleh ahli ushul ialah sebagaimana yang termaktub dalam surat Al-Maidah29 sebagai berikut :
الـســارق واالـســارقـة فـاقـطعـواايـد يـهـمـا...
Artinya : Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan hendaklah dipotong tangan mereka.

Dalam ayat ini lafal “الـسـارق” sesungguhnya cukup jelas, yang berarti “orang yang mengambil harta orang lain di tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi. Penerapan hukuman terhadap pencuri dengan arti tersebut cukup jelas. Akan tetapi lafal pencuri memiliki beberapa satuan objek yang banyak, seperti ; pencopet, perampok, pencuri barang kuburan. Persoalannya adalah apakah hukuman potong tangan juga diberlakukan terhadap semua arti yang disebutkan ini ?. Di sinilah timbul kesamaran arti tersebut. Seperti kata “pencopet” yang mengambil harta orang lain tidak dengan cara sembunyi-sembunyi, tetapi dengan terang-terangan melalui keterampilan dengan gerakan cepat, sehingga orang yang punya harta tidak mengetahui. Dalam hubungan ini apakah “lafal” “الـسـارق” (pencuri) juga mencakup pula arti “pencopet”, yang dapat dikenakan sanksi potong tangan atau tidak, atau hanya dikenakan sanksi ta’zir30.
2.  Musykil
Menurut Zaky al-Din Sya’ban31, yang dimaksud dengan musykil ialah ;
الـمـشـكل هـواللـفـظ الـذى خـفى الـمـعـنى المـراد مـنـه بـحـيـث لا يـمـكن مـعـرفـتـه الابـا لبحـث والـتأ مـل فـيـمـا يـحـيـط بـه مـن الـقـرائـن والا مـا را ت.
Artinya ; Musykil ialah suatu lafal yang samar-samar (tersembunyi) maknanya dan ia hanya dapat dipaham setelah dilakukan pembahasan dan penelitian dengan memperhatikan qarinah dan tanda-tanda yang terkait dengan lafal tersebut.

Sementara itu, Wahbah Zuhaili32, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan musykil ialah suatu lafal nash yang tersembunyi, artinya yang disebabkan oleh lafal itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mengetahui maknanya diperlukan penelitian yang mendalam dengan memperhatikan qarinah yang dapat menjelaskan maksudnya. Sebagai contoh, misalnya, Firman33 Allah :
والمطلقـات يـتــربصن بانـفـسـهـن ثـلآ ثـة قـرؤء ... (البـقـرة/٢: ٢٢۸)
Artinya : Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (beriddah) dengan tiga kali suci
Dalam ayat di atas terdapat lafaz quru’ (قـرؤء) yang mengandung dua arti atau “ganda” yaitu “suci” dan “Haid”. Oleh karena itu wanita yang ditalak oleh suami mereka itu apakah beriddah dengan “tiga kali suci” atau “tiga kali haid”.
Adapun yang menyebabkan kemusykilan terhadap lafal nash, sebagaimana dijelaskan oleh Amir Syarifuddin34 adalah karena lafal itu musytarak, yaitu suatu lafal nash yang mengandung beberapa arti sedangkan shighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna tertentu.
3.  Mujmal
Yang dimaksud dengan mujmal35 adalah :
الـمـجـمـل هـوالـذى يـنـطوى فى مـعـنـاه عـلى عـدة أحـوال وأحـكا م قـد جـمـعـت فـيـه.
Artinya ; Mujmal ialah suatu lafal yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terhimpun padanya.

Sementara itu, Wahbah Zuhaili36 menjelaskan bahwa majmul ialah suatu lafal yang sulit untuk dipahami maksudnya karena lafal itu sendiri, ia tidak dapat dipahami kecuali ada penjelasan (bayan) dari syari’. Lafal majmul lebih samar (tidak terang) dibandingkan dengan lafal sebelumnya, karena dari segi sighatnya sendiri ia tidak menunjukkan arti yang dimaksud dan tidak ada pula qarinah yang dapat membawa kepada maksudnya serta tidak mungkin pula dapat dipahami kecuali dengan penjelasan dari syari’ sendiri; dalam hal ini adalah Nabi.37
Adapun yang menyebabkan terjadinya mujmal terhadap lafal nash adalah disebabkan oleh salah satu dari tiga38 hal, yaitu ; Pertama, karena lafal itu musytarak yang tidak disertai qarinah, Kedua ; karena lafal itu secara bahasa adalah asing; seperti lafal “هـلوعـا”. Allah berfirman39, berikut ini:
....ان الا نـسـا ن خـلق هـلوعـا...
Artinya ; …Sesungguhnya manusia diciptakan keluh kesah…
Ayat ini sesungguhnya tidak dapat dipahami maksudnya, sehingga ada penjelasan langsung dari syari’, yaitu Allah SWT, yaitu ;
اذامــسـه الشــر جزوعـا ( ٢٠ ) واذا مـسه الخـيـر منوعا (٢١)...
Artinya ; Apabila ditimpa oleh kesusahan ia berkeluh kesah; Dan bila ia mendapat nikmat ia kikir dan lupa

Adapun yang ketiga, ialah kemujmalan suatu lafal Nash itu ialah perubahan makna lughawi ke makna istilahi, misalnya lafal “الصلأ ة” dan lafal الـزكاة” adalah lafal-lafal yang semula makna lughawi yang tidak dapat dipahami artinya, dimana kemudian dipakai untuk arti syar’i dangan dijelaskan maksudnya oleh sunnah Nabi.
4. Mutasyâbih
Yang dimaksud dengan mutasyãbih40 adalah ;
هـواللـفــظ الـذى يـخـفـى مـعـنـاه ولا ســبـيـل لآ ن تـدركـه عــقـول الـعـلمـاء.
Artinya ;  Mutasyabih ialah lafal yang samar (tersembunyi) maknanya dan tidak ada jalan untuk dapat mengetahui maksudnya.

Ketidakjelasan atau kesamaran lafal mutasyabih ini karena sighatnya tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendaki dan tidak ada pula qarinah yang dapat dijadikan alat untuk mengetahuinya. Menurut ulama, ketidakjelasan lafal mutasyâbih ini karena lafal itu sendiri tidak memberikan arti yang dimaksudkan dan tidak ada pula qarinah yang menjelaskan maksudnya. Syari’ membiarkan saja kesamaran atau ketidakjelasan tersebut tanpa penjelasan.41 Dilihat dari segi keberadaan mutasyâbih ini, oleh ulama dibedakan kepada dua macam,42 yaitu ; Pertama,  mutasyabih dalam bentuk potongan-potongan huruf hijaiyah yang terdapat di dalamnya al-Qur’an seperti “كـهـيـعــص, ألـر, الـم” dan sebagainya. Potongan-potongan huruf hijaiyah ini tidak punya arti apa-apa ditinjau dari segi lafanya. Allah SWT dan Nabi Muhammad Saw sendiri tidak pernah menjelaskannya sehingga setiap pembaca akan mengatakan hanya Allah yang Maha mengetahui atau hanya Allah yang Maha mengetahui maksudnya. Kedua, ayat-ayat yang menurut zahirnya mempersamakan Allah Maha pencipta dengan makhluknya, sehingga ayat tersebut tidak mungkin dipahami menurut arti lugawinya, karena Allah itu Maha suci dari pengertian yang demikian, contohnya firman Allah dalam ayat43 berikut ini ;
"... يـــدالله فــوق ايــد يــهــم..."
Artinya : … Tangan Allah di atas tangan mereka…
Kemudian, Firman Allah dalam surah al-Rahman44; menyebutkan ;
ويــبـقـى وجـه ربك ذوالجـلآ ل والا كـرام.
Artinya ; “Dan akan tetap kekal muka Tuhanmu yang Maha besar dan Maha mulia”

Dari kedua ayat yang dikemukakan di atas terlihat bahwa lafal “يـــدالله” yang arti lughawinya adalah “tangan Allah” dan lafal “وجـه ربك” yang berarti “Muka Tuhanmu”, yang keduanya adalah digolongkan kepada mutasyabih. Memahami kedua lafal di atas dalam arti lughawinya / zahirnya adalah tidak mungkin dilakukan, karena menyamakan Allah dengan sifat-sifat yang terdapat pada manusia. Oleh karena itu menurut ulama “meskipun tidak mungkin mengetahui artinya, namun mereka berusaha sampai kepada maksudnya dengan cara menakwilkan atau memalingkan arti ayat dari arti zahirnya kepada makna lain untuk menghindarkan diri dari menyamakan Allah dengan makhluknya.45 Umpamanya ulama menakwilkan lafal “وجـه ربك” yang berarti “muka Tuhanmu dengan “zat Tuhanmu”, dan lafal “يـــدالله” yang berarti “Tangan Allah”, menjadi kekuasaan Allah. Dari uraian ini dapat dipahami bahwa mutasyabih merupakan lafal nash yang paling samar dan paling tidak terang artinya dalam kelompok lafal yang samar artinya. Sedangkan dalam kelompok yang terang artinya lafal muhkam berada pada tingkat yang paling atas dari segi kejelasannya. Dengan demikian, mutasyabih dan yang berada dalam kelompoknya menghasilkan pemahaman zhanniy dan sedangkan muhkam dan yang berada dalam kelompoknya menghasilkan pemahaman qoth’iy.

C. LAFAL NASH DARI SEGI PENGGUNAANNYA
Terhadap lafal nash dari segi penggunaan arti ini, para ulama ushul membaginya kepada empat macam.
1. Hakîkat
Yang dimaksud dengan hakekat sebagaimana dijelaskan oleh Quth Mustofa Sanu46 adalah
 فـهـو الـمـسـعـمـل فـيـمـاوضع له فى اصل وضع له اللغـة.
Artinya ; Hakekat ialah suatu lafal yang secara bahasa digunakan untuk arti yang sebenarnya.
Atau seperti yang diungkapkan oleh Abdul Karim Zaidan47 bahwa yang dimaksud dengan hakekat ialah
الحـقيـقـة هـواللفـظ المـسـتـعـمـل فـيـماوضع له وقـد تـكون هـذه الحـقـيـقـة لغـوية وقـد تـكون شـرعـيـة وقـدتـكون عـرفـيـة.
Artinya ; Hakekat ialah suatu lafal yang sejak awal dipergunakan untuk arti yang sebenarnya, baik secara lugawi, syar’i maupun ‘urf.

Hakekat secara lugawi ialah suatu lafal yang dipakai yang artinya sesuai dengan istilah bahasa, misalnya kata lafal al-insān yang arti hakikinya menurut bahasa adalah Hayawān Nathiq, (binatang yang berakal). Hakekat syar’iyah ialah penggunaan lafal sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh syara’. Misalnya lafal al-Shalat yang arti hakikinya menurut syara’ ialah ucapan-ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam yan dilakukan oleh orang muslim dalam rangka menyembah Allah. Kemudian hakekat secara ‘urfi ialah suatu lafal yang dipakai sesuai dengan ‘uruf (adat kebiasaan) yang sudah dikenal oleh masyarakat. Misalnya, lafal dābbah yang berarti hewan yang berkaki empat. Oleh karena itu, bila disebut al-Dābbah, maka secara ‘urfi masyarakat sudah mengenalinya. Selanjutnya tentang lafal hakekat ini, dalam pandangan ulama Ushul, harus diamalkan menurut arti yang sejak semula diciptakan untuknya. Dengan kata lain, lafal hakekat diamalkan sesuai dengan maksud penciptaannya sejak dari semula. Jika suatu lafal Nash dapat diartikan dengan artinya yang hakiki dan  dapat pula dengan arti yang majazi, maka yang diamalkan adalah arti hakiki48.
2. Majâz
Menurut Wahbah Zuhaili49, bahwa yang dimaksud dengan majāz ialah suatu lafal yang dipakai untuk arti lain yang bukan arti hakiki. Dengan kata lain,
الـمـجـازهـوا سـتـعـمـال اللفـظ فى غـيـرالـمعـنى الـمـوضوع له. 
Artinya; Majaz ialah suatu lafal yang dipakai untuk arti lain yang bukan arti hakiki.
Oleh karena itu dapat dipakai bahwa majaz merupakan suatu lafal yang digunakan bukan untuk yang sebenarnya, sebagaimana yang dikehendaki oleh bahasa. Sebagai contoh umpamanya kata “kursi” digunakan untuk arti “kekeuasaan”. Lafal  menurut hakekatnya adalah digunakan untuk tempat duduk50. Contoh lain, misalnya dalam ayat51 disebutkan. 
...اوجـاء احدمــنـــكم من الــغــا ئـط ...
Artinya : .. atau salah seorang dari kamu kembali dari tempat buang air..”
Yang dimaksud dengan al-gaith dalam ayat ini adalah Hadas kecil, dan bukan arti hakikinya, yaitu tempat buang  air (toilet).  Demikian juga kalau dengan اولامـستـم النـســاء” (atau kamu menyentuh wanita), dimana kata “menyentuh” (الملأ مســة) disini adalah majāz yaitu bersetubuh (الوطئ) dan bukan arti hakiki yakni menyentuh dengan tangan52. Adapun pengamalan/penggunaan lafal Nash dengan arti majazi ini adalah ketika suatu lafal tidak mungkin atau tidak tepat dan sukar untuk diartikan secara hakiki. Jika tidak mungkin diartikan secara hakiki dan majazi, maka hendaklah didiamkan.
3. Sarīh
Yang dimaksud dengan lafal sarīh. Sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili53 adalah sebagai berikut :
الصريح : مـاظهـربـه المـعـنى المـراد ظهـورا بـيـنـا بـسـبـب كثـرة الآســتـعـمـال حـقـيـقـة كان اومـجـازا.
Artinya ; Sarīh ialah suatu lafal yang jelas pengertian dan maksudnya karena sering digunakan baik dalam bentuk hakekat maupun majaz.

Selanjutnya Quthub Mustafa Sanu54, menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan lafal sarīh :
اللفـظ الـذى ظهـرالمـعـنى اطراد بـه طـهـورا تـامـاء بـسـبـب كثـرة الا سـتـعـمـال سـواء كان حـقـيـقـة ام مـجـازا.
Artinya ; Sarīh adalah suatu lafal yang terang dan jelas pengertian dan maksudnya karena sering digunakan baik dalam bentuk hekekat maupun majaz.

Dari dua definisi ini jelaslah bahwa pada dasarnya lafal sarih itu merupakan lafal nash yang terbuka, maksud yang dikandung di dalamnya, yang tidak perlu lagi penjelasan lain sebagai contoh, misalnya, seorang suami mengatakan kepada isterinya “engkau saya ceraikan”55. Ucapan seorang suami kepada isterinya, seperti yang disebutkan ini cukup terang dan jelas maksudnya serta tidak perlu penjelasan lain karena ucapan tersebut dapat dipahami oleh semua orang yang mendengarnya.
Jika seorang suami mengucapkan ungkapan di atas kepada isterinya, maka jatuhlah talaknya. Secara syar’i lafal sarih wajib diamalkan karena sudah terang maksudnya.
4. Kinâyah
Secara bahasa kinayah berarti mengatakan sesuatu untuk menunjukkan arti yang lain56. Secara syar’i yang dimaksud dengan kinayah57 ialah ;
الكـنـا يـة هـي لـفـظ ا ســتـتـرالـمـراد مـنـه فى نـفـسـه فـلا يـفـهـم الا بـقـر يـنـة ســواء كان المـراد مـعـنى حـقـيـقـة أم مـعـنى مــجـازيـا.
Artinya ;  Kinayah ialah suatu lafal yang tertutup maksudnya oleh lafal itu sendiri, ia tidak dapat dipahami kecuali ada qarinah (petunjuk) yang dapat menjelaskan maksudnya baik maksud tersebut secara hakiki maupun secara majazi.

Dalam pandangan Amir Syarifuddin58 bahwa yang dimaksud dengan lafal kinayah itu ialah suatu lafal bersifat tertutup sampai dijelaskan oleh dalil. Tegasnya, setiap lafal nash yang pemahaman artinya harus menggunakan dalil lain, dan tidak dari lafal itu sendiri pada dasarnya termasuk dalam arti kinayah, karena masih memerlukan penjelasan sebagai contoh, misalnya  ucapan seorang suami kepada isterinya, “pulanglah engkau ke rumah orang tuamu”. Ungkapan ini dapat digunakan untuk “cerai” bila diniatkan untuk mencerai isteri dan bisa juga tidak, karena tidak diniatkan untuk mencerai isteri. Atas dasar ini jelaslah bahwa lafal kinayah baru dapat diamalkan setelah ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjelaskan maksudnya.









1 Amir Syarifuddin, 2001, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu, Cet. II, halaman 35.
2 Ibid.
3 Zaky al-Din Sya’ban, 1965, Ushul al-Fiqh al-Islami, Mesir ; Matba’ah Dar al-Ta’lif, Cet. I, halaman 341.
4 Quthub Mustafa Sanu, 2000, Mu’jam Mustalahat Ushul al-Fiqh. Damaskus-Siria; Dar al-Fikr al-Mu’asir, Cet. I, halaman 272
5 Zaky al-Din Sya’ban, op.cit, halaman 342.
6 Lihat Wahbah Zuhaili, 1986, Ushūl al-Fiqh al-Islāmi, Juz I, Siria – Damaskus; Dar al-Fikr, Cet. I, halaman 319
7 Muhammad al-Jurjani, t.t., Kitab al-Ta’rifāt. Singapore - Jeddah ; al-Haromaīn, halaman 241
8 Ibid.
9 Quthub Mustafa Sanu, op.cit, halaman 459
10 Wahbah Zuhaili, op.cit, halaman 320.
11 Abdul karim Zaidan, 1977, al-Wajîz Fî  Usûl al-Fiqh. Bagdad ; al-Dar al-Arabiyah Lit-Tiba’ah, Cet. VI, halaman 346.
12 Ibid, Lihat pula Mahmud Yunus, 1990, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta ; Hidakarya Agung. Cet. Ke VIII, halaman 316
13 Abdul Wahab Khalaf, 1990, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, Kairo ; Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah Syabāb al-Azhar, Cetakan VIII, halaman 166.
14 Lihat Amir Syarifuddin, 2001. Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu, Cet. II, halaman 9.
15 Ibid.
16 Ibid.
17 Ibid, halaman 10
18 Lihat Muhammad Abu Zahrah, 1958, Ushûl al-Fiqh, Mesir ; Dar al-Fikr al-araby, halaman 123.
19 Abdul Karim Zaidan, 1977, Al-Wajiz Fî Ushul al-Fiqh. Bagdad ; Al-Dar al-arabiyah Lit-Tiba’ah, cetakan IV, halaman 349.
20 Lihat Wahbah Zuhaili, 1986, Ushul al-Fiqhal-Islami, Juz I, Damaskus–Seria ; Dar al-Fikri Cet. I, halaman 323
21 Ibid, halaman 324
22 Lihat Qur’an  Surat Al-Ikhlas / 112 ayat 1-4
23 Amir Syarifuddin, 2001, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta; PT. Logos Wacana Ilmu, Cet. 2, halaman 12.
24 Wahbah Zuhaili, op.cit, halaman 326.
25 Wahbah Zuhaili, Ibid, halaman 335
26 Lihat Amir Syarifuddin, op.cit, halaman 13
27 Muhammad Abu Zahrah. op.cit, halaman 124
28 Lihat Amir Syarifuddin, 2001, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu, Cet. Ke II, halaman 13
29 Al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 38
30 Amir Syarifuddin. 2001. Ushul Fiqh,Jilid II, Jakarta ‘ PT. Logos Wacana Ilmu, Cet. 2, halaman 14
31 Zaky al-Din Sya’ban, 1965, Ushul Fiqh al-Islami, Mesir ; Dar al-Ta’lif, Cet. I,  halaman 356.
32 Wahbah Zuhaili, 1986, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz I, Damaskus; Dar al-Fikr, Cet. I, halaman 338.
33 Qur’an surat al-Baqarah 228
34 Amir Syarifuddin; op.cit, halaman 16-17, Lihat pula dalam Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, 1985. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung; PT. Al-Ma’arif, cet. I, halaman 287
35 Muhammad Abu Zahrah, 1965, Ushul al-Fiqh, Mesir ; Dar al-Fikr al-Araby, halaman 131
36 Wahbah Zuhaili, op.cit, halaman 230
37 Amir Syarifuddin, op.cit, halaman 20
38 Wahbah Zuhaili, 1986, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid I, Damaskus; Dar al-Fikri, Cet. I, halaman 341
39 Al-Qur’an surat al-Ma’arij ayat 19
40 Muhammad Abu Zahrah, op.cit, halaman 134.
41 Amir Syarifuddin, 2001, Ushul Fiqh,  Jilid II, Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu, Cet. 2, halaman 21.
42 Ibid, halaman 21-23, Lihat pula dalam Muhammad Abu Zahrah, 1958, Ushul al-Fiqh, Kairo; Dar al-Fikr al-Arabi, halaman 124-125.
43 Al-Qur’an surat al-Fatah ayat 10.
44 Al-Qur’an surat al-Rahman, ayat 27
45 Amir Syarifuddin, op.cit, halaman 23
46 Quthub Mustofa Sanu, 2000, Mu’jam Mustalahat Ushul Fiqh, Damaskus. Dar al-Fikr, Cet. I, halam 181
47 Abdul Karim Zaidan, 1977, Al-Wajîz Fî Ushul al-Fiqh, Bagdad ; Al-Dar al-arabiyah Lit-Tiba’ah, Cet. VI, halaman 333
48 Ibid, halaman 261.
49 Wahbah Zuhaili, 1986, Ushul al-Fiqh al-Islami. Jilid I, Damaskus – Suriah, Dar al-Fikr, Cet. I, halaman 293. Lihat pula Muhammad Al-Jarjani, t.t, Kitab al-Ta’rifat, Singapore – Jeddah, halaman 203-204.
50 Amir Syarifuddin. 2001. Usul Fiqh.  Jilid 2, Jakarta ; PT. Logos  Wacana Ilmu, Cet, 2, halaman 27.
51 Qur’an surat
52 Abdul Karim Zaidan. 1977. Al-Wajāz fi Usul al-Fiqh. Bagdad : Al-Dar al-Arabiyah Lit-Tiba’ah, Cet. VI, halaman 337.
53 Wahbah Zuhaili, 1986, Ushul Fiqh al-Islami, Jilid I, Damaskus ; Dar al-Fikr, halaman 308.
54 Quthub Mustafa Sanu, 2000, Mu’jam Mustalahat Ushul al-Fiqh. Damaskus ; Dar al-Fikr, Cet. I, halaman 256.
55 Amir Syarifuddin. op.cit, halaman 35.
56 Ibid.
57 Wahbah Zuhaili, op.cit, halaman 309, Lihat pula Quthub   Mustofa Sanu, op.cit, halaman 370.
58 Amir Syarifuddin, 2001, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta; PT. Logos Wacana Ilmu, Cet. Ke II, halaman 35.

No comments:

Post a Comment